Senin, 29 Oktober 2012

Matahari pun Tersenyum

Malam Madinah yang hening syahdu, tiba-tiba pecah. Suara pertengkaran itu membuat pintu-pintu dan jendela terbuka. Wajah penduduk kota pun bermunculan. Ada apa gerangan?

"Sampai hati engkau ya menuduhku, ya syeih. Engkau menuduhku memasuki rumah orang? Padahal rumah itu rumahku. Akulah Al-Faruq. Al-Faruq wali bagi keluarga AL-Munkadir yang berasal dari cucu-cicit kaum Quraisy!" Dengan matanya yang tajam orangtua yang dituduh hendak memasuki rumah Rabi'ah itu mengajukan pembelaannya di depan Imam Malik.

Benarkah ia Al-Faruq? Semua ragu. Mereka tidak pernah mengenali rupa Al-Faruq sejak 20 tahun yang lalu. Inikah Al-Faruq yang tidak ada khabarnya itu? Ibu Rabi'ah yang berada di dalam rumah tersentak. Hatinya berdebar hebat.

"Benar! Ia Al-Faruq...!" Ujar ibu Rabi'ah pelan. Semua menoleh pada dirinya.
"Benar, ia suamiku. Dialah ayahmu, hai Rabi'ah." Semua terdiam, mencoba memahaminya. Lebih-lebih Rabi'ah. Ia mengalami gelombang perasaan yang begitu tiba-tiba.
"Rabiah itu anakmu, wahai Al-Faruq..," wanita itu kini menatao syahdu ke lelaki tua yang begitu terpana melihat penampilannya.

Semua yang hadir satu persatu beranjak pergi. Satu per satu pintu-pintu dan jendela tertutup lagi. Semua kembali senyap. Kecuali deru dalam dada Rabi'ah. Lelaki tua itu, dan sang wanita, ibu Rabi'ah. Mereka pun bertangis-tangisan dalam pelukan haru-rindu yang menggebu-gebu.

Setelah tenang kembali ketiganya masuk ke dalam rumah. Masih tanpa kata-kata. Dalam benak sang ibu, terputar semua kilasan peristiwa dua puluh tahun yang lalu. Ketika masih pengantin baru, suaminya pergi menuju medan jihad, ke Khurasan dan Bukhara.

Dua puluh tahun sudah tidak ada kabar, sementara benih dalam perutnya kini sudah menjelma menjadi pemuda dewasa. Di tengah suara-suara pertanyaan anaknya dan cerita suaminya, ia mulai diliputi rasa bersalah. Suaminya pasti menanyakan uang yang dititipkan dahulu. Tiga puluh ribu dinar. Angka yang tidak tersisa sedikitpun ditangannya!

Sang anak ingin tahu alasan ayahnya tidak pulang dalam waktu yang begitu lama.
"Ibu hanya mengatakan, andai maut menghadangmu di medan perang, apakah engkau akan lari pulang tunggang-langgang seperti seekor anjing berlari pulang karena takut pada lawan?"
"Mengapa ibu menuntut Ayah begitu keras?"
"Ibu hanya mengingatkan ayahmu, sebagaimana yang telah dilakukan isteri-isteri para sahabat terhadap suami-suami mereka. Saat kembali dari pedang Mut'ah, mereka mengunci pintu dan jendela sambil melontarkan kata, "Pergi kau pengecut! Kembali ke medan perang!!"

Malam bertambah larut. Ibu Rabi'ah belum memincingkan mata. Ia belum mendapat jawaban yang tepat jika sang suami bertanya mana uang yang dititipkannya dulu. Uang yang tak mungkin habis jika digunakan hanya untuk hidup berdua dengan hemat.

Adzan Subuh berkumandang dari mesjid Nabawi. Ia bangkit. Anaknya sudah lebih dahulu pergi ke masjid. Al Faruq juga telah bersiap-siap. Tapi ada hal yang mengganjal langkahnya untuk bersegera ke masjid.
"Wahai Ummu Rabi'ah, apa yang telah kamu lakukan dengan uang yang kutinggalkan dulu sebelum berjihad. Jika ada sisanya, aku ingin menjadikannya modal usaha."

Kalimat yang biasa saja, tapi tapi terasa menusuk perasaan Ummu Rabi'ah. Dengan cepat ia berusaha mengendalikan diri.
"Uang itu masih tersimpan," Ummu Rabi'ah berusaha menghindar lagi. Ia merasa ini bukan waktu yang tepat.
"Lekaslah ke masjid. Bukankah kamu telah lama sekali tidak shalat di mesjid Nabi? Tidakkah kamu rindu melakukannya?"

Al-Faruq tidak membantah. Ia bergegas menuju masjid. Sementara Ummu Rabi'ah resah. "Ya Allah, permudahlah urusanku ini. Berilah petunjukMu...," doanya penuh harap.

Di masjid, Al-Faruq dapat barisan di belakang. Setelah shalat, dibukalah majelis taklim. Lamat-lamat didengarnya suara sang guru. Masih muda. Dilongoknya untuk memastikannya. Benar, walau wajahnya susah dikenali karena tertutup jubahnya. Ah, kalau saja Rabi'ah, anaknya seperti anak muda itu betapa tenteram hidupnya. Ada anak shalih yang senantiasa mendoakannya.

Cukup bagiku anak yang shalih tanpa diberi harta sekalipun, ditorehnya kalimat ini dalam relung-relung hatinya yang paling dalam. Ya, andaikan Rabi'ah.....
Diamatinya sekeliling. Yang hadir tampaknya bukan hanya masyarakat awam. Tapi juga para ulama dan cerdik pandai lainnya.

Ketika selesai, Al-Faruq tinggal sendiri, meresapi rasa rindu dengan masjid suci ini. Siapakah ulama yang mengajar tadi?
"Bapak belum kenal siapa guru tadi?" ujar seorang jama'ah menguak takbir keingintahuan Al-Faruq.
"Orang itu menjelaskan bahwa sang guru seorang yang alim dan cerdas dalam bidang hadits. Dia juga orang yang arif di bidang hukum syari'ah. Ia sempat berguru pada beberapa shahabat Rosulullah saw. Dan ia adalah mufti Madinah."

Lelaki itu mengajak Al-Faruq duduk di sudut tepi masjid Nabawi.
"Sungguh guru kita seorang pemuda yang alim dan dihormati masyarakat. Imam Malikpun salah seorang muridnya. Apakah bapak tahu, ia lelaki yang sangat pemurah di Madinah ini? Ia menghabiskan banyak uang sampai 40.000 dirham untuk dihadiahkan kepada guru-gurunya dengan tujuan mereka mencurahkan segenap waktu untuk memberi ilmu kepadanya. Ia pernah berkata, 'Harta yang habis bisa di cari, tapi guru-guru yang telah tiada siapakah penggantinya?'"

"Sungguh bahagia orang pandai itu!" cetus kagum Al-Faruq. "Siapakah namanya?"
"Dialah Rabi'ah A-Rayi bin Abu Abdurrahman. Tapi, bapaknya lebih dikenal dengan nama Al-Faruq. Dia masih berada di perbatasan Khurasan. Mungkin bapak pernah mendengar nama itu?"

Matanya berkaca-kaca tidak mampu lagi menahan gelombang batin seorang ayah yang bangga dengan anak lelakinya. Ia bergegas pergi, meninggalkan kawab bicaranya masih terheran-heran.

Setibanya di rumah, Al-Faruq menyandarkan punggungnya di muka pintu, menetralisir gejolak
hatinya. Menarik nafas sebentar agar lebih tenang.
"Kau berhasil, wahai isteriku. Kita telah mendapatkan sesuatu yang paling berharga di muka bumi ini!" ceritanya dengan mata yang masih berkaca-kaca.
"Apa yang kamu maksudkan, wahai suamiku?"
"Kita telah punya anak yang shalih, anak yang akan mendoakan kita nanti bila kita menghembuskan nafas. Aku melihat anak kita sangat baik, bertakwa, dan memiliki ilmu luas. Sungguh Allah swt. telah mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada yang kuduga." ucapnya berapi-api.

Ini peluang yang ditunggu-tunggu Ummu Rabi'ah. Dan ia memberanikan diri untuk berterus terang.
"Suamiku, manakah yang lebih engkau sayangi, uang tiga puluh ribu dinar atau anak kita yang kau ceritakan tadi?"
"Demi Allah! Apalah artinya uang itu. Anak shalih lebih menyejukkan mataku!" jawabnya tegas.
"Suamiku, sebenarnya yang kau tinggalkan dulu telah habis kugunakan untuk membiayai anak kita belajar.." Ditatapnya sang suami dengan sinar mata menunggu. Tatapan siap menerima akibat seburuk sekalipun.
"Demi Allah, engkau sungguh wanita yang bijak, duhai isteriku. Engkau seorang ibu sejati. Tidak salah aku memilihmu..." Dengan mesra digenggamnya jemari sang isteri seolah ingin memberi tekanan kesungguhan perkataannya.

Matahari Madinah pun tersenyum menyaksikan dua insan bahagia itu. Sinarnya terasa lebih cerah menerpa bumi.

Kasih Sayang

Tidaklah seseorang memiliki kasih sayang terhadap sesama, kecuali Allah SWT akan menghiasinya dengan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang berlaku bengis terhadap sesamanya, kecuali Allah akan mencabut rasa kasih sayang dari dirinya dan mencampakkannya ke tempat yang hina.

Suatu hari Umar bin Khathab berjalan-jalan di seputar Madinah. Saat itu ia melihat seorang anak kecil sedang memainkan seekor burung pipit. Timbullah rasa iba dalam hati Umar. Ia pun segera membujuk si anak untuk menjual burung pipit mainannya. Anak itu setuju. Segera setelah bertransaksi, Umar melepaskan burung itu ke udara.

Setelah beliau wafat, sebagian sahabat mimpi berjumpa dengan Umar. Mereka bertanya, "Bagaimana Allah memperlakukan Anda?" Umar menjawab, "Allah mengampuni dan memuliakan."

Para sahabat bertanya kembali, "Apakah sebabnya? Apa karena kedermawananmu, keadilanmu, atau karena kezuhudanmu?".

"Ketika manusia menguburkanku dan mereka pulang, tinggallah aku sendirian di dalam kubur. Maka datanglah dua malaikat. Akalku hilang dan aku pun gemetar ketakutan. Mereka mendudukkanku untuk menanyaiku. Saat itulah terdengar suara tanpa rupa: 'Wahai Malaikat, tinggalkanlah hamba-Ku ini! Tidak usah kalian tanya atau kalian takut-takuti dia, sebab Aku menyayanginya dan akan Aku bebaskan siksaan daripadanya. Karena dia adalah seorang yang mengasihi seekor burung pipit waktu di dunia. Maka di akhirat Aku menyayangi-Nya," demikian keterangan Umar.

Di dunia ini berlaku hukum kekekalan energi. Satu hukum yang menjelaskan bahwa sebuah energi tidak akan pernah hilang, ia hanya sekadar berubah bentuk. Sebagai sebuah ilustrasi, dari dulu hingga sekarang jumlah benda cair selalu tetap jumlahnya, hanya bentuknya saja yang berubah-ubah.

Hukum ini berlaku pula pada manusia. Setiap energi yang dihasilkan, entah itu energi positif (amal saleh) maupun negatif (dosa), nilainya tidak akan pernah hilang. Kita menolong orang yang kesusahan misalnya, maka energi positif tersebut akan selalu ada dan akan kembali pada kita. Bentuknya bisa sama, ditolong kembali oleh yang lain saat kita kesusahan, ataupun dalam bentuk berbeda, berupa pujian dari manusia, ketenangan jiwa, atau pahala di sisi Allah.

Bahkan, dalam pandangan Allah Swt, energi kebaikan tersebut akan dikembalikan kepada pembuatnya dalam jumlah yang berlipat-lipat. Difirmankan, Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walau sebesar zarrah, dan jika ada kebaikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar (QS An-Nisa' [4]: 40).

Pengalaman Umar bin Khathab menjadi contoh konkret akan adanya hukum kekekalan energi. Walau hanya menolong seekor pipit, Allah SWT membalasnya dengan pahala yang teramat luar biasa. Umar telah memberikan energi kasih sayangnya dan Allah SWT membalasnya dengan energi kasih sayang yang jauh lebih besar. Tidak hanya itu, kebaikan yang terlihat "sepele" tersebut makin mengangkat derajat Umar di hadapan Allah dan semua makhluk-Nya.

Benar apa yang dikatakan Rasul bahwa tidaklah seseorang memiliki kasih sayang terhadap sesama, kecuali Allah Swt akan menghiasinya dengan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang berlaku bengis terhadap sesamanya, kecuali Allah akan mencabut rasa kasih sayang dari dirinya dan mencampakkannya ke tempat yang hina.

Ada kisah lain yang menunjukkan betapa energi kasih sayang yang dianggap sepele, mampu mengangkat pelakunya pada tempat yang terhormat. Di antaranya kisah seorang pezina yang diampuni Allah dan dimasukkan ke dalam surga hanya karena menolong anjing yang kehausan. Sebaliknya, ada seorang ahli ibadah yang divonis masuk neraka hanya karena mengurung seekor kucing tanpa diberi makan, sampai kucing tersebut mati kelaparan.

Kasih sayang dan kualitas beragama
Hakikat keberagamaan adalah terjalinnya kasih sayang. Allah SWT menurunkan Islam sebagai pemandu bagi manusia agar saling berkasih sayang dan menyebarkannya pada penghuni bumi yang lain. Allah SWT berfirman, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (QS Al-Anbiya' [21]: 107).

Karena itu, tidak mungkin seorang yang mengaku Muslim tega menyakiti makhluk Allah lainnya tanpa alasan yang jelas. Mukmin adalah mereka yang bisa memberi kedamaian kepada semua objek di sekitarnya.

Rasulullah SAW bersabda, "Kalian tidak dianggap beriman sebelum kalian saling menyayangi." Para sahabat bertanya, "Bukankah masing-masing kita memiliki kasih sayang?". Beliau menjawab, "Yang dimaksud bukanlah kasih sayang seorang di antara kalian kepada sahabatnya. Tetapi kasih sayang untuk umat manusia, kasih sayang yang bersifat umum".

Bila kasih sayang sudah menyebar di muka bumi, maka curahan kasih sayang Allah pun akan tertuang di atasnya. "Kasihilah yang ada di bumi, niscaya engkau akan dikasihi yang di langit". Sebaliknya murka Allah akan turun tatkala kita menzalimi yang di bumi.

Boleh jadi, kesempitan hidup yang kita derita, salah satu penyebabnya adalah telah lunturnya kasih sayang di dalam hati kita. Lihatlah, kita sering tidak peka terhadap kesusahaan orang lain. Saat teman sakit, kita anggap itu biasa dan tidak terenyuh untuk sekadar menanyakan kabar atau menjenguknya. Saat ribuan TKI diusir dari negara lain, kita menganggapnya sebagai hal biasa. Jarang kita memberi perhatian pada mereka walau dengan seuntai doa.

Ada satu hadis dari Abu Hurairah yang layak kita renungkan. Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah berfirman pada hari Kiamat, 'Wahai Anak Adam! Aku telah sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku'. Dia (Anak Adam) menjawab, 'Ya Rabbi, bagaimanakah aku menjenguk-Mu, padahal Engkau Rabb al-Alamin?'. Allah berfirman, 'Tidakkah kamu tahu, bahwa hamba-Ku telah menderita sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Apakah kamu tidak tahu bahwa kalau kamu menjenguknya, niscaya kamu dapati (pahala dari) Ku berada di sisinya'.

'Wahai anak Adam! Aku meminta makan kepadamu, tetapi kamu tidak memberi-Ku makan'. Dia menjawab, 'Ya Rabbi, bagaimana aku memberi-Mu makan, padahal Engkau Rabb al-Alamin?'. Allah berfirman, 'Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku meminta makan kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya makan. Apakah kamu tidak tahu bahwa kalau kamu memberinya makan, niscaya kamu dapati balasannya ada pada-Ku'.

'Wahai anak Adam! Aku meminta minum, tetapi kamu tidak memberi-Ku minum'. Dia menjawab: 'Ya Rabbi, bagaimana aku memberi-Mu minum, padahal Engkau Rabb al-'Alamin?'. Allah berfirman, 'Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku meminta minum kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya minum. Apakah kamu tidak tahu bahwa kalau kamu memberinya minum, niscaya kamu mendapati balasannya ada pada-Ku'." (HR Muslim).

Apa makna dari "Aku sakit engkau tak menjenguk-Ku, Aku lapar engkau tak memberi-Ku makan. Aku haus tapi engkau tak memberi-Ku minum?". Bagaimana Allah Yang Mahaperkasa, Yang Mahakaya berfirman bahwa Dia sakit, Dia lapar dan Dia haus? Hakikatnya, Allah itu bersama orang-orang yang kesusahan. Siapa yang menyayangi dan menolong mereka, nilainya sama dengan menyayangi dan "menolong" Tuhannya. Wallahu a'lam bish-shawab.